Aku berlari dalam
pelarian mencari sebuah arti ketulusan cinta, namun hingga detik pelarianku
berjumlah miliaran,cinta yang tulus tak kunjung kutemui.
Cermin menjadi saksi pertanyaanku
pada diri ini“seperti apakah guratan rupa
cinta yang tulus itu?” Mataku tak
berkedip sesaat menatap langit berselimut awan tebal dari balik jendela persegi
yang menempel dikamarku, sepertinya ingin turun hujan,hujan yang sering kali
membuat perenungan dianganku.Satu demi satu rintikan hujan turun,pernah
kuhitung berapa jumlah rintikan hujan namun tak berhasil kuketahui jumlahnya
seperti tak berhasil ku ketahui jumlah harapanku untuk mendapatkan cinta yang
tulus.Gerimis tipis yang berjatuhan dari langit mulai rimbun hingga membasahi
kota Yogyakarta. Tanpa permisi pada pemiliknya tiba-tiba saja bola mata ini
tertuju pada satu frame foto yang terletak dimeja rias, disana
tertempel wajah seorang pria yang selalu mengiringi degup langkah dimana pun
aku berada. Dia adalah sahabatku, namanya Vino. Aku tersenyum kecil memandang
foto sahabatku,lalu otak mengulang kembali kenangan lucu tentang cerita yang tergambar
dari balik foto tersebut. Saat itu, Vino sedang mengerjakan tugas dikelas
Pengantar Akuntansi, lalu aku iseng memotonya. Terlihat jelas wajahnya yang
serius penuh motivasi.Vino juga adalah penghibur kala kulelah berlari dalam
mencari ketulusan cinta,setelah banyak kecewa yang kuterima dari para pemilik
cintaku yang dulu.
Gara-gara melamun
tentang Vino,entah kenapa jemariku bersekutu dengan Handphone lalu menekan satu
demi satu nomor teleponnya. Setelah menunggu beberapa detik, suaranya yang
berat terdengar ditelingaku,
“Hallo” katanya
dari seberang sana.
“Lagi dimana,
No?” tanyaku.
“Di depan kamar
kamu, Abel.”
Aku spontan
terkejut, “Apa?!”
lalu terdengar suara ketukan pintu yang tidak
merdu dari luar kamar. Aku segera membukakan pintu, dan melihat di depanku
sudah ada pria yang dari tadi ku-lamunkan frame
fotonya.
“Vino”
kataku terkejut.
“Hei”
sapanya.
“Ka..
ka..mu.. ngapain disini?” tanyaku gugup.
“Mau
ngajak kamu pergi.” Matanya hampir saja melihat kearah sudut meja rias yang
terpampang fotonya.
“Itu
apa?” tanyanya.
“Yuk kita pergi.” Aku menarik tangan Vino dan
mengajaknya keluar dari kamarku.
Mobil Vino melaju
dengan santai,sepertinya dia sadar bahwa saat ini sedang turun hujan mangkanya
laju kendaraan dilambatkan agar tidak terjadi apa-apa
“Kita mau kemana No?”
tanyaku penasaran.
“Lunch.” Ucapnya singkat.
“Bagus, kebetulan aku
lagi laper.”
Aku senang mendengar
ajakan Vino. Siang ini di kota Yogyakarta walaupun hujan, masih tetap terlihat
indah, jalan raya pun tidak terlihat macet, semuanya terkendali. Ya, aku sangat
mencintai kota ini, kota yang damai,sejuk,dan mempunyai kebudayaan asri. Aku
melihat warung pasta, sepertinya enak makan pasta untuk menu makan siang di saat
hujan seperti ini. Keinginanku tak terucap, namun vino memarkirkan mobilnya di
depan warung pasta.
“Radar kamu kuat ya sama
aku.” Kataku melihat wajah Vino yang mencoba memandangku..
“Kaya film Perahu
Kertas aja deh, pake radar-radaran. Hahaha” tawa geli nya.
“Tapi serius, tadi tuh
aku pengen banget makan pasta. Eh, pas mobil kamu menuju kesini, seakan radar
kita kuat banget.” Jawabku.
Selesai memarkirkan
mobil, tiba-tiba Vino mengangkat kedua jari telunjuknya dan membentuk sebuah
radar. Aku membalas radarnya, dan tertawa “Hahaha lucu deh kamu.” Sesuatu yang simple bisa membuatku tertawa bersamanya.
Di dalam warung pasta,
aku melihat menu makanan yang sudah masuk list.
“Kamu mau makan apa,
No?” tanyaku sambil sibuk melihat menu makanan.
“Lady first,” Vino mempersilakan
“Ya udah deh, aku pesen
Meat Lover aja. Kamu?.Ehh..tapi
masalah yang bayar makanan ini lady first
enggak berlaku kan,dompet aku lagi menipis nih hehehe”
Vino terdiam sesaat
sepertinya radar mereka memang sama “Aku juga Meat Lover,tenang aja hari ini aku traktir ”
Lalu Vino mengangkat
kedua telunjuknya dan memasang radar. Aku hanya tersenyum melihat tingkah vino.
Menunggu makanan
datang, suasana kembali hening kami masih sibuk dengan suasana handphone
masing-masing. Beberapa detik kemudian, keheningan dipecahkan oleh lantunan
musik yang merdu membawakan lagu Perahu Kertas. Terdengar senar gitar yang apik, membuat pengunjung warung pasta
terhanyut dalam lantunan lagu yang dibawakan oleh pemusik dari warung pasta
ini.
“Lagi syndrome Perahu Kertas ya?” celetuk
Vino.
“Iya, No. Aku ngefans
banget deh sama Kak Dee. Aku suka banget sama tulisannya yang membuat pembaca
masuk dalam setiap ceritanya.” Ceritaku.
“Lagu Perahu Kertas
juga kan dia yang buat?” tanyanya.
“Iya, No. Novelnya dia
banyak lho yang di buat film. Selain Perahu Kertas, ada Rectoverso juga, terus
denger-denger sih novelnya yang Madre juga mau dibuat film. She is a perfect deh pokoknya. Dari
tulisannya dia, aku jadi punya mimpi ingin menjadi penulis. She is my inspiration. ” Vino
mendengarkan ceritaku.
“Aku doain deh, kamu
bisa jadi penulis kayak Dee Lestari. Tapi nanti kalau udah jadi penulis, jangan
lupain aku ya. Hehehe. Oh ya satu lagi, aku dikasih novel gratis. Ok?” candanya
“Ih, kok minta gratisan
sih? Seorang teman yang baik, pasti membeli hasil karya temannya. Itu salah
satu bukti dukungan dari seorang teman.” Jelasku.
“Iya iya bawel deh”
Vino selalu kalah ketika aku sedang memberikan komentar kepadanya. Makanan yang dari tadi ditunggu akhirnya
datang juga, aku dan Vino menyantap makanan yang kami pesan.
Itulah Vino dia bisa
memberikan seutas lengkungan senyum di bibirku,dan dia juga sering menjadi
sandaran tangisku.
***
“No, aku udah mulai
nulis lho.” Ucapku pada Vino yang dari tadi sedang main playstation bersama Azriel. Malam
ini Vino menemaniku dan Adikku Azriel di rumah, karena Mama dan Papa pergi ke
luar kota.
“Oh ya, judulnya apa
Bel?” tanya Vino tanpa melihat wajahku, karena dia sedang asyik bermain game.
“Judulnya aku belum tahu,
No. Ceritanya tuh kayak cewek yang lagi nyari, apa itu arti cinta yang tulus?
Menurut kamu menarik gak?” aku mencoba meminta pendapat Vino.
“Hm… bagus sih, tapi
kamu emang udah nemuin apa arti cinta yang tulus? Kamu tahu kayak apa itu cinta
tulus? Terus ending-nya gimana?” kali
ini Vino menatap wajahku lekat-lekat, seakan ingin menerkam.
“Aku belum tahu semua
jawabannya.” Semula wajahku tersenyum, kini senyuman memudar karena pertanyaan
Vino yang bertubi-tubi dan aku tidak tahu jawabannya.
“Gak usah cemberut gitu
dong, Bel. Saran dari aku sih, kamu buat aja draf-nya. Ayo semangat, aku yakin kamu pasti bisa. Gak usah pikirin
ending-nya dulu, yang penting dimulai
dulu ceritanya.” Dukungan Vino, membuat aku semakin bersemangat untuk
melanjutkan novel yang aku buat ini.
Aku masuk kamar, dan
meninggalkan Vino bermain game dengan
Azriel di ruang tamu. Di dalam keheningan aku mencoba memulai menjahit kata-kata
agar terbaca dengan apik, lalu aku
segera menuliskan apa yang ada di pikiranku. Buatku memang sulit memulai sebuah
cerita, dan sulit untuk mencari akhir sebuah cerita. Semuanya itu butuh perjuangan, untuk kesekian
kalinya, aku sangat bangga kepada penulis-penulis di dunia yang mampu menjahit
kata-kata dengan mudah dan enak untuk dibaca. Terutama untuk Kak Dee Lestari
yang membuat tulisan itu seakan penuh makna. Aku kembali berkutat dengan “Apa itu cinta yang tulus?”
Waktu terus berjalan
dengan cepat, jarum jam yang dari tadi hanya aku dengarkan setiap detiknya,
tanpa memandang jam yang ada di dinding, tiba-tiba ponselku berdering dan di
layar tersebut ada sebuah nama “Mama” lalu aku segera mengangkat telepon
“Hallo, iya Mah?” sapaku.
“Kamu dan adikmu baik-baik aja kan? Udah makan
belum?” tanya seorang wanita di seberang sana.
“Baik, Mah. Mama gimana
kabarnya? Azriel tadi uda makan kok Ma,kalo aku nanti aja ah.” balasku.
“Mama baik. Vino sudah
kamu suruh makan?” aku menepuk jidatku
“Astaga, lupa Mah. Aku
dari tadi di kamar, Vino main game di
ruang tamu bareng Azriel.”
“Kamu tuh gimana sih,
nanti dia kelaparan lho.” Omel Mama.
“Iya, Mah ampun. Ini
aku mau ajak dia makan deh.” Kataku merasa bersalah dan panik.
“Ya udah. Hati-hati di
rumah.”
Setelah menutup telepon
dari Mama, aku segera ke ruang tamu dan melihat Vino dan Azriel sedang tertidur
pulas di sofa. Aku sengaja tidak membangunkannya, dan segera aku menuju ke
dapur untuk memasak sesuatu untuknya. Aku bingung, ingin masak apa untuknya,
padahal aku sendiri saja tidak bisa masak. Melihat seisi kulkas dan mencari
bahan yang bisa dimasak, akhirnya aku menemukan daun bawang, penyedap makanan,
telur, dan daun kol. Aku mencari indomie di kardus dan untungnya ada. Aku
segera memasak Martabak Mie. Setelah Martabak Mie-nya jadi, aku baru berani
membangunkan Vino.
“No.. No..” tanganku
mengoyangkan badannya. “No… No…” sudah empat kali aku memanggil namanya, namun
cowok ini tidak bangun-bangun juga. Aku menaruh masakanku di dekat hidungnya,
dan dia seperti orang menginggau “Laper.” Aku tersenyum ketika mendengarnya
mengatakan kata lapar. Beberapa detik kemudian, dia bangun dan mengucek matanya
dengan tangannya. “Eh, Abel.”
Tanpa berpikir panjang,
aku menyodorkan makanan yang baru saja aku masak untuknya. “Ini makan dulu gih,
maaf ya kamu jadi ketiduran.” Kataku
merasa bersalah padanya.
“Gak apa-apa kok, emang
aku ngantuk aja. Beli dimana ini, Bel?” tanyanya.
“Ini aku yang buat sendiri.” Aku tersenyum
pada Vino. Namun, dia terkejut
“Hah? Apa? Kamu?.Abel
aku belum ingin mati keracunan masakkanmu !!”
Aku memasang wajah
sedih “Ih Vino…. Ini aku yang buat, seriusan. Kalau kamu gak percaya, liat aja
dapurku tuh masih berantakan.” Jelasku
mencoba meyakinkan Vino
. “Sejak kapan kamu
bisa masak?” tanyanya heran.
“Kalau kayak gini sih
aku bisa, Vino. Kalau sayur-sayuran tuh baru aku gak bisa. Udah deh dimakan
aja,kalo gak mau sini aku kasih kucing aja , bawel banget sih.”
Tanpa berfikir panjang,
Vino langsung melahap makanan yang sudah ada di hadapannya. “ENAK!” satu kata
yang membuat aku bahagia.
“Serius?” tanyaku tidak menyangka.
“Iya serius. Ih kamu
hebat ya,ikut Master Chef aja deh”
“Kamu ngeledek apa,muji
sih”Tanyaku disertai cemberut
“Enak beneran
Bell.cumpah deh”
Akhirnya Vino menyukai
makanan buatanku, dan rasa bersalahku sudah digantikan oleh Martabak Mie ini.
“No, kamu tau enggak
pengertian Cinta Yang Tulus itu kayak apa” tiba-tiba aku menanyakan hal ini
pada Vino.
“Hah?” Vino yang ditanya terkejut mendengarkan
pertanyaanku. “Kok nanya sama aku sih?” tanyanya heran.
“Iya kan kamu pernah
bilang,kalo kamu tau semuanya”aku membuat Vino kesal.
“Udah ah males bahas.
Iya nanti, kalau kamu ulang tahun aku kasih tahu deh, apa itu arti cinta yang
tulus. Ok?” ajaknya.
“Kok, nunggu aku ulang tahun sih? Kelamaan,
sekarang aja ya. Please.” Kataku
memohon.
Vino
menggeleng-gelengkan kepalanya, saat ini aku yang kalah. Aku harus mengikuti
apa maunya Vino. Aku harus menunggu sampai hari ulang tahunku tiba.
Kamu selalu siap menyediakan telingga untuk
mulutku yang berdongeng kesedihan
tentang cerita sendu duniaku
By.Regina
.
By.Regina
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar